Perbandingan Pondok Cina dengan Kya-Kya Kembang Jepun

Meskipun termasuk minoritas, kenyataannya penyebaran WNI keturunan (Tionghoa-Indonesia) telah meluas ke hampir seluruh wilayah negara Indonesia.

Di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, kedekatan antar warga seringkali merupakan sesuatu yang susah didapatkan. Ajaibnya, semua itu dapat diselesaikan dengan “rumah komunitas” a la warga Tionghoa-Indonesia.

Dalam “rumah” ini, mereka bergaul sangat akrab dan saling pengertian satu dengan yang lainnya. Dua di antaranya yang saya ketahui hingga artikel ini ditulis adalah Pondok Cina di Jakarta dan Kya-Kya Kembang Jepun di Surabaya.

Meskipun sama-sama berstatus “rumah komunitas” bagi warga Tionghoa-Indonesia, kenyataannya kedua “rumah” ini memiliki beberapa perbedaan, antara lain sebagai berikut:

Pondok Cina, Beji, Depok

Pondok yang dekat lokasinya dengan Universitas Indonesia (UI) ini memiliki sejarah kedekatan dengan masyarakat Tionghoa sejak abad ke-18.

Disebutkan pada awal-awal pendiriannya, banyak masyarakat Tionghoa yang menjadi pekerja maupun pedagang di area yang pada awalnya dimiliki oleh Cornelis Castelin, tuan tanah pada masa VOC.

Singkat cerita, pondok yang memiliki bangunan khas rumah tua (sekarang ada tulisannya “Old House“) ini pada abad ke-19 dibeli oleh seorang Tionghoa bernama Lauw Tek Lok, yang pada akhirnya diwariskan kepada putranya, (Kapiten der Cinezeen) Lauw Tjeng Siang.

Hingga kini, rumah tua pada pondok yang berlokasi tepat di selatan Jakarta ini merupakan salah satu bangunan di Pondok Cina yang menurut saya menarik.

Pasalnya, seiring dengan perkembangan jaman, semakin banyak perluasan area di sekitar pondok dengan nama akrab “Pocin” ini, misalnya adanya Margo City di kawasan Margonda Raya, yang juga merupakan daerah Pocin.

Memang, sekarang masyarakat Tionghoa-Indonesia yang menempati sedikit jumlahnya, tetapi itulah sebabnya saya menyebutnya “rumah komunitas” (Selain dari sejarah hubungannya yang akrab dengan masyarakat Tionghoa).

Jumlah yang sedikit melambangkan keakraban yang lebih terjalin, sementara itu di beberapa daerah sekitar Pocin juga terasa nuansa merah khas masyarakat Tionghoa-Indonesia, terutama di Margo City pada saat Imlek. Selain itu, untuk menambah suasana keakraban, wisatawan dapat menyewa kos-kosan di sekitar Pocin, misalnya yang terdapat di kostjakarta.com.

Kya-Kya Kembang Jepun

Dibandingkan Pondok Cina-nya Depok, bangunan megah asal Surabaya ini memiliki sejarah yang lebih muda. Ketika sejarah Pondok Cina dimulai sekitar abad ke-16 atau 17, sejarah “rumah komunitas” masyarakat Tionghoa-Indonesia ini justru dimulai pada akhir abad ke-18 atau 1900. 

Pertama-tama, salah satu objek wisata legendaris di Surabaya ini dinamai Handelstraat, yang berarti jalan (yang penuh dengan kegiatan) perdagangan. Sebabnya, pada saat masih bernama Handelstraat, pedagang-pedagang Tionghoa berkumpul di daerah bentukan Belanda ini.

Hingga seiring berkembangnya jaman, tempat yang bernama akrab “Kya-Kya” ini menjadi salah satu pusat perdagangan (CBD) dari Surabaya. Sempat mati karena ide pengembangan wilayahnya ditolak oleh warga Surabaya, Kya-Kya dibangun lagi pada 2003 tepat pada hari jadi Surabaya.

Sebagai tempat yang kaya sejarah, Kya-Kya merupakan salah satu tempat di Surabaya yang paling ramai dihuni oleh pedagang maupun pembeli berkewarganegaraan Tionghoa-Indonesia. Di samping itu, saat perayaan orang Tionghoa tiba, yakni Imlek, Kya-Kya akan menjadi lebih ramai.

Bukan hanya sajian makanan dan minumannya yang sekilas mirip dengan perdagangan di jalan-jalan di Tiongkok aslinya, tetapi juga banyak atraksi dan pertunjukan khas Tionghoa yang disuguhkan di dalamnya.

Beberapa dekade silam, saya melihat ada atraksi barongsai dan juga stan-stan khusus ramalan a la Tiongkok, misalnya djiamsi atau palmistry. Atraksi dan stan-stan ini akan semakin ramai menjelang dan pada Imlek.

***

Dari uraian di atas, perbedaan antara Pondok Cina dengan Kya-Kya Kembang Jepun adalah pada nama akrab, sejarah, dan suasananya pada saat Imlek.

Nama akrab Pondok Cina adalah Pocin, sedangkan Kya-Kya Kembang Jepun memiliki nama akrab Kya-Kya.

Dari segi usia sejarah, Pocin lebih tua beberapa abad dibandingkan Kya-Kya. Selain itu, Pocin memiliki sejarah hubungan kedekatan dengan masyarakat Tionghoa yang lebih panjang dan kaya dibanding Kya-Kya, namun jika dibandingkan dengan saat ini, Kya-Kya yang lebih mendekatkan antar warga Indonesia keturunan Tionghoa dibandingkan Pocin.

Demikian pula dengan suasana Imlek, Kya-Kya yang lebih dapat mendekatkan antar warga Indonesia keturunan Tionghoa dapat menyajikan barongsai dan stan-stan lain a la masyarakat Tionghoa, yang mungkin tidak ditemukan di Pocin. Meski demikian, suasana Imlek di Pocin tetap terasa dengan mengundang beberapa teman wisatawan untuk menyewa kos di sekitar Pocin sambil merayakan Imlek.

Jadi, para pembaca, tentukan pilihan Anda: Pocin yang kaya sejarah, atau Kya-Kya yang inklusivitasnya lebih terasa?

Apapun itu, pilihan tetap di tangan Anda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *